Kenakalan Anak

by zuhdifirdaus

Setiap orangtua pasti ingin melihat anaknya atau anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi orang yang baik, memiliki kepribadian yang kuat, sikap mental yang sehat, dan akhlak yang terpuji. Keinginan atau dambaan seperti itu merupakan fitrah setiap orangtua. Karena itu, didorong oleh keinginan agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi orang yang baik, memiliki kepribadian yang kuat, sikap mental yang kuat, dan akhlak yang terpuji, maka peran orangtua senantiasa berusaha dengan segenap kemampuan mereka mendidik dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak mereka sesuai dengan yang diinginkan.

Usaha orangtua mendidik anak-anak mereka sebagaimana dimaksud di atas sejatinya mengungkapkan, di satu pihak, keyakinan bahwa pertumbuhan dan perkembangan seorang anak menjadi pribadi yang baik, dengan karakter kepribadian yang kuat, sikap mental yang sehat dan akhlak yang terpuji tidaklah menjadi dengan sendirinya. Di pihak lain, usaha itu juga mengungkapkan keyakinan bahwa pendidikan merupakan sarana yang efektif untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak menuju ideal-ideal yang diharapkan (Zakiah Daradjat, 1996: 56). Pada kenyataanya, usaha-usaha pendidikan sama tuanya dengan usia peradaban manusia; kegiatan pendidikan sudah ada sejak umat manusia mulai berkembang biak di muka bumi (Sumadi Suryabrata, 1987: 1).

Menurut Gerungan (1983: 181-182), peran orangtua atau keluarga terhadap perkembangan social anak adalah sesuatu yang self evident (sudah jelas dengan sendirinya). Dalam rangka pembentukan kepribadian serta penanaman dan pewarisan nilai-nilai, baik nilai-nilai social maupun nilai-nilai agama, pendidikan informal dalam keluarga bahkan dipandang memainkan peranan yang paling penting dan menentukan (Jalaluddin, 1998: 206).

Sentralnya peranan orangtua atau pendidikan keluarga dalam pembentukan kepribadian serta penanaman dan pewarisan nilai-nilai social maupun agama adalah berkaitan erat dengan kenyataan bahwa sejak lahir hingga usia sekolah, anak-anak umumnya hanya memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Dengan kata lain, keluarga merupakan kelompok social pertama dalam kehidupan anak yang didalamnya dia balajar menyatakan diri sebagai manusia social dalam hubungan interakasi sosialnya berdasarkan simpati itulah seseorang anak pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain; dalam lingkungan keluarga itulah anak-anak pertama kali belajar memegang peranan sebagai makhluk social yang memiliki norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulan atau interaksinya dengan orang lain.

Dari sudut pandang di atas, karenanya sangat tepat bahwa Pasal 27 UU Sisdiknas No. 20/2003 mengakui sepenuhnya eksistensi dan keabsahan pendidikan informal dalam keluarga serta menempatkan pada posisi yang setara dengan pendidikan formal dan nonformal. Sebab, baik dilihat dari perspektif teoritis maupun kenyataan empiris, proses dan pengalaman pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga serta pengalaman-pengalamannya dalam interaksi social di lingkungan keluargan

yang secara umum turut menentukan cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan social di luar lingkungan keluarganya, yakni dalam masyarakat pada umumnya. Apabila interaksi sosialnya dalam keluarga, karena beberapa sebab, tidak lancer dan tidak wajar, kemungkinan besar interaksi sosialnya dengan masyarakat pada umumnya juga akan berlangsung tidak wajar (Gerungan, 1983: 182).

Salah satu manifestasi dari interkasi social anak yang tidak wajar dalam keluarga adalah berupa kenakalan. Menurut Winarno Surakhmad (1977: 189), di samping mempunyai peranan yang penting dalam membentuk anak menjadi orang yang baik, yang memiliki kepribadian yang kuat, sikap mental yang sehat, dan akhlak yang terpuji, orangtua atau keluarga juga mempunyai pengaruh yang besar bagi lahrinya anak-anak yang nakal (delinquency). Dalam ungkapan Winarno Surakhmad sendiri dikatakan, “sifat-sifat orangtua ternyata besar pengaruhnya bukan saja di dalam proses sosialisasi tetapi juga di dalam proses a-sosialisasi”. Bahkan dikatakan bahwa “pengalaman anak-anak di dalam keluargaa dapat merupakan ‘pendidikan’ yang intensif untuk melahirkan penjahat yang ulung dikemudian hari”. Tegasnya, perilaku orangtua yang selalu kasar dan keras terhadap anak (dihina, diejek, dipukili, dicaci-maki) di satu pihak, dan kurangnya pendekatan dialog dengan anak-anak dipihak lain, sangat potensial mendorong lahirnya reaksi kenakalan pada anak.

Tentu saja factor penyebab kenakalan anak-anak tidak bisa seluruhnya dikembalikan kepada orangtua atau keluarga. Dari perspektif teori psikologi perkembangan, menurut Sumadi Suryabrata (1987: 211-212), ada satu factor perkembangan di mana anak-anak cenderung mengekspresikan kenakalan yang dominant dalam sikap dan perilakunya. Fase perkembangan dimaksud adalah fase estetis, terutama pada usia antara 3 sampai 5 tahun. Pada fase ini anak sering menentang kehendak orangtua, kadang-kadang menggunakan kata-kata kasar dan jorok, atau dengan sengaja melanggar yang dilarang dan tidak dilakukan hal yang diharuskan, dan sebagainya. Gejala seperti itu tampak demikian umun di kalangan anak-anak pada usia tersebut, dan karenanya memerlukan penanganan yang seksama.

Factor lain yang banyak dikeluhkan orangtua maupun kalangan pendidik sebagai penyebab kenakalan anak-anak adalah tayangan TV (televisi), khususnya sinetron. Hal ini berkaitan dengan dua aspek negative. Pertama, kehadiran tanyangan sinetron yang waktunya bertepatan dengan jam belajar anak menyebabkan anak-anak sulit disuruh belajar oleh orangtuanya. Penelitian yang dilakukan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tentang jam menonton TV pada anak-anak usia SD tahun 2006 menemukan hasil yang menunjukkan bahwa jam menonton TV pada anak-anak berkisar antara 30 sampai 35 jam seminggu, atau 4,5 jam sehari. Ini sama dengan 1.520 sampai 1.860 jam setahun. Jumlah ini jauh di atas jumlah jam bersekolah. Waktu bersekolah hanya berkisar antara 3 sampai 5 jam sehari. Setelah dikurangi masa liburan dan hari libur nasional, jumlah jam bersekolah hanya 850 jam setahun dari 220 hari belajar efektif.

Kedua, dari segi isinya sinetron-sinetron yang ditayangkan di TV banyak yang mengandung muatan yang merugikan, untuk tidak mengatakan rusak, perkembangan kepribadian anak-anak yang menontonnya. Penelitian YPMA bersama 18 perguruan tinggi se-Indonesia menemukan bahwa selama tahun 2006 dan 2007 tidak ada sinetron yang tidak mengandung unsure kekerasan, termasuk sinetron anak dan keluarga yang dinilai aman. Bentuk kekerasan paling dominant adalah kekerasan verbal (56%) dan spikologis (41,05%), kemudian disusul jenis kekerasan fisik (25,14%) dan non-verbal (22%). Hal ini belum lagi mempertimbangkan unsure seks dan mistiknya, yang juga cukup tinggi dalam cerita sinetron (Kedaulatan Rakyat, tanggal 10 Nopember 2008).

Dengan demikian, jelaslah ada banyak factor yang menyebabkan timbulnya kenakalan pada anak, baik factor perkembangan anak itu sendiri, factor keluarga maupun factor lingkungan. Tetapi apapun factor penyebabnya, gejala kenakalan yang terjadi pada anak-anak mutlak harus ditanggulangi dan diatasi. Sebab kenakalan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk penyimpangan dalam perkembangan anak, sementara anak itu sendiri sering tidak menyadarinya (Winarno Suraakhmad, 1977: 190). Di samping itu, dalam segala keterbatasannya anak-anak pasti masih sangat membutuhkan pendamping yang dapat membimbingnya dalam menjalani tugas-tugas perkembangan dan dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di sepanjang perjalannnya menuju kematangan dan kedewasaan (Soekamto, 1982: 7).

Usaha mencegah dan menanggulangi perilaku kenakalan anak-anak, menurut Gerungan (1983:213), pertama-tama adalah menjadi tanggung jawab orangtua. Sebab, pada prinsipnya orangtualah yang paling berkepentingan atas pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anaknya yang sehat secara fisik dan mental. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari orangtua adalah paling banyak berinteraksi dengan anak, sehingga sangat familiar dan mengerti perilaku anak.

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑